SERO SURVEI TITER ANTIBODI RABIES PADA PASIEN POST GHPR PASCA VAKSINASI DI KOTA SUNGAI PENUH JAMBI

 

Latar Belakang

Penyakit rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang menular yang disebabkan oleh Lyssavirus dari Family rabdhoviridae, dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonotik, menular kemanusia melalui gigitan atau air liur hewan tertular dan belum ada obatnya.

Rabies di Indonesia endemis di 26 Provinsi dan 8 Provinsi dinyatakan bebas rabies (Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, DKI jakarta, Jawa Tengah, DI Yogjakarta, Jawa Timur, Papua dan Papua Barat).

Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) Di Kota Sungai Penuh tahun 2022 tercatat 51 kasus dan mengalami peningkatan dibanding tahun 2020 sebanyak 32 kasus dan tahun 2021 sebanyak 22 kasus.

Pemberian vaksinasi sebagai post exposure prophylaxis (PEP) sangat efektif, dapat mencegah manifestasi penyakit Rabies setelah mengalami gigitan hewan pembawa rabies. Sampai saat ini penatalaksanaan infeksi Rabies lebih ke arah pencegahan, pemberian vaksin atau Immunoglobulin kepada pasien yang mengalami gigitan hewan penular Rabies.

Metode

Survei ini merupakan skrining pada pasien post GHPR yang mendapatkan vaksinasi. Studi yang digunakan crossectional. Kegiatan dilakukan melalui wawancara dan pengambilan darah untuk pemeriksaan titer antibodi. Pengambilan darah dilakuan selama 5 (hari) hari yaitu tanggal 16 sd 20 Oktober 2023 di berasal dari 4 (empat) Puskesmas yaitu Puskesmas Puskesmas Koto Lolo, Puskesmas Sungai Bungkal, Puskesmas Gedang dan Puskesmas Hamparan Rawang. Jumlah sampel yang berhasil dikumpulkan sebanyak 30 responden.

HASIL KEGIATAN

Karakteristik Responden

Tabel 3.1. Gambaran Responden pemeriksaan Titer Antibodi Rabies

Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (56,5%), paling banyak merupakan kelompok umur 46-64 tahun (36,7%) dan Pendidikan responden paling banyak adalah SD (30%).

Gambaran Imunologi

Gambar 1. Distribusi Status Imunologi Pasien Post-GHPR di Kota Sungai Penuh

Pada Gambar 1 Hasil pengujian terhadap spesimen didapatkan status imunologi Sebagian besar responden berada dalam kategori cukup (73%).

Gambar 2. Distribusi Status Imunologi Menurut Umur

Pada Gambar 2, Hasil pemeriksaan imunologi menunjukan terdapat kondisi Tidak terdeteksi pada kelompok usia >64 tahun (1 orang), pada kondisi kurang (insufficient) paling banyak pada kelompok usia 46-64 tahun (5 orang), sedangkan pada kondisi cukup (Sufficient) paling banyak pada kelompok usia 20-45 tahun.

Gambar 3. Distribusi Status Imunologi Menurut Waktu Pemberian VAR

Berdasarkan waktu pemberian imunisasi dan pengujian spesimen, status imunologi responden dalam kondisi Cukup (Sufficient) tertinggi didapatkan pada responden dengan periode post VAR < 3 bulan sebanyak 83,3%%, post VAR 3-6 bulan sebanyak 75% dan pada post VAR > 6 bulan sebanyak 25%.

Respon pembentukan antibodi dalam tubuh manusia dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain : jumlah virus yang menginfeksi, status gizi pasien, usia dan adanya penyakit lain yang menyertai. Faktor usia memiliki pengaruh yang cukup penting dalam respon kejadian infeksi. Kelompok usia yang memiliki respon lemah biasanya pada bayi dan lanjut usia (lansia).

Selain faktor dari host (manusia), efektifitas vaksin yang diberikan juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan transport vaksin.

Kesimpulan

Sebanyak 73% responden memiliki antibodi yang cukup dengan persentasi tertinggi pada pasien yang mendapatkan suntikan lengkap <3bln (83%). Pada kasus gigitan berulang (re-exposure) dalam <3 bulan setelah profilaksis, VAR tidak perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup untuk melindungi tubuh. [Budi P]