PEMERIKSAAN TES KULIT TUBERKULIN (TST/TUBERKULIN SKIN TEST) PADA WARGA BINAAN LAPAS KELAS IIA KABUPATEN BENGKALIS MARET 2024

Kasus ILTB (Infeksi Laten Tuberkulosis) di Indonesia yang diberikan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) baru diperkenalkan sejak tahun 2016 dengan sasaran anak anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang berkontak dengan kasus TBC aktif dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak sakit TBC. Pada tahun 2019, Indonesia diperkirakan sekitar 1,7 juta kasus ILTB yang berkontak dengan kasus TBC aktif dan populasi berisiko lainnya. Berdasarkan data Global TB Report (GTR, 2019) cakupan pemberian TPT pada anak usia di bawah 5 (lima) tahun dan ODHA berada diangka 10% sama dengan kohort tahun 2018. Capain tersebut masih jauh dari target yang diharapkan baik pada anak usia dibawah 5 (lima) tahun maupun ODHA sebesar 40%.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 tahun 2016 menjelaskan bahwa pemberian obat pencegahan TBC tertuang dalam paragraph 6 pasal 15 ditujukan pada anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien TBC aktif, ODHA yang tidak terdiagnosa TB, dan populasi tertentu lainnya. Menindaklanjuti hal tersebut, petunjuk teknis penanganan ILTB ini mendetailkan sasaran populasi tertentu lainnya seperti kontak serumah usia di atas 5 (lima) tahun, pasien immunokompremais lainnya (pasien yang menjalani pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka panjang, pasien yang sedang persiapan transpalansi organ, dll), Warga Binaan Pemasyarakatan (WPB), petugas kesehatan, sekolah berasrama, barak militer dan pengguna narkoba suntik.

Pemberian TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis) pada kelompok sasaran di atas diharapkan dapat mencegah seseorang berisiko tertular TBC, memutus mata rantai penularan TBC, dan mencapai eliminasi TBC tahun 2030. Pemberian TPT saat ini diperluas dengan pemberian panduan jangka pendek seperti pengobatan selama 3 bulan dengan INH dan Rifapentine (3HP) setiap minggu dan pengobatan selama 3 bulan dengan INH dan Rifampisin (3HR) setiap hari sesuai rekomendasi WHO terbaru tahun 2020 untuk meningkatkan angka cakupan dan kepatuhan dalam minum obat.

Sebuah review yang dilakukan terhadap paduan pengobatan menemukan bahwa pengobatan laten TBC dapat mengurangi risiko reaktivasi sekitar 60% sampai 90%. Selain itu ujicoba randomisasi terkontrol yang dilakukan dinegara dengan beban TBC tinggi menunjukan bahwa terapi pencegahan pada ODHA dapat memberikan perlindungan hingga lebih dari 5 tahun. Oleh karenanya pedoman WHO tahun 2018 merekomendasikan PTP jangka pendek yang lebih dapat ditoleransi dan memiliki efikasi yang baik sehingga dapat meningkatkan angka kepatuhan pengobatan.

Berikut ini adalah kelompok risiko yang merupakan prioritas sasaran pemberian TPT:

  1. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
  2. Kontak serumah dengan pasien TBC paru yang terkonfirmasi bakteriologis
    • Anak usia di bawah 5 tahun
    • Anak usia 5-14 tahun
    • Remaja dan dewasa (usia di atas 15 tahun)
  3. Kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif
    • Pasien immunokompremais lainnya (Pasien yang menjalani pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, pasien yang sedang persiapan transplantasi organ, dll).
    • Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas kesehatan, sekolah berasrama, pondok pesantren, barak militer, pengguna narkoba suntik.

Tabel 1. Hasil Interpretasi benjolan/indurasi

HASIL TES TUBERKULIN KULIT

Tes Tuberkulin Kulit ini dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan dahak untuk pemeriksaan TCM pada tanggal 6 dan 7 Maret 2024. Dahak kemudian diperiksakan TCM di laboratorium mikrobiologi RSUD Kabupaten Bengkalis.

Sedangkan tes tuberkulin dilakukan oleh petugas kesehatan Lapas Kelas IIA Bengkalis yaitu dokter dan perawatnya. Dilakukan penyuntikan tuberkulin terhadap 49 warga binaan yang kemudian diamati dan diperiksa lagi 48 jam kemudian di tempat penyuntikan. Jika terdapat benjolan berwarna agak pucat kemerahan maka diukur diameternya.

Dari 50 orang yang diskrining didapatkan ternyata yang diameter benjolannya lebih dari atau sama dengan 10 cm sangat banyak yaitu 28 orang, sehingga jumlahnya adalah lebih dari 50% warga binaan yang dilakukan tes positif terhadap tes ini. Kisaran umur warga binaan yang positif dengan tes tuberkulin adalah antara umur 21 sampai dengan 65 tahun. Semua berjenis kelamin lelaki. Sedangkan besarnya benjolan berkisar antara 10 cm sampai 20 cm.

Diketahui juga dari pengamatan dan informasi dari petugas lapas bahwa tingkat hunian ruangan atau kamar-kamar lapas sangat padat bahkan bisa 2 kali lipat kapasitas maksimum standar. Kemudian juga mereka saling bertemu dan bergaul dengan bebas di luar ruangan saat waktu istirahat atau ketika ada kegiatan. Dengan ini diasumsikan bahwa akan sangat mudah terjadi transmisi penyakit menular terutama yang melalui udara atau droplet pada para warga binaan.

Langkah selanjutnya dari alur setelah didapatkan ada hasil positif adalah diberikan pengobatan pada mereka yang positif tersebut dengan regimen pengobatan yang disebut dengan TPT singkatan dari Terapi Pencegahan TB. Dari Tabel 2 regimen pengobatan TPT didapatkan bahwa untuk kelompok resiko lainnya seperti di lapas maka mendapatkan regimen 3HP. Yaitu pengobatan dengan INH dan Rifapentin selama 3 bulan.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

  1. Dari 49 orang warga binaan di Lapas Kelas IIA Bengkalis yang dilakukan pemeriksaan TB TCM didapatkan 28 orang Positif.
  2. Kepadatan hunian Lapas Kelas IIA Bengkalis melebihi standar baku kepadatan yang telah ditentukan.
  3. Didapatkan transmisi TB yang terjadi secara aktif di antara warga binaan yang disebabkan kepadatan yang melebihi standar baku dan kontak erat yang terjadi secara lama dan sering.

Rekomendasi

  1. Segera melakukan pengobatan warga binaan yang menderita Tuberkulosis aktif dengan hasil pemeriksaan TCM positif dengan regimen OAT yang sesuai
  2. Melakukan isolasi warga binaan dengan kasus TB aktif agar memutus rantai penularan sesegera mungkin
  3. Melakukan pengobatan TPT segera pada warga binaan yang telah terdiagnosis positif ILTB dengan regimen TPT yang sesuai yaitu 3 HP. Pemberian INH dan Rifapentin selama 3 bulan. Kemudian dilakukan pemantauan sesuai petunjuk pengobatan 3HP.
  4. Jika regimen 3HP tidak dapat dilakukan karena kontra indikasi atau sebab lainnya maka dapat diganti dengan regimen 3 HR yaitu pemberian INH dan Rifampisin selama 3 bulan
  5. Selama pengobatan harus terus dipantau apakah ada timbul gejala TB. Jika ada maka harus dilakukan pemeriksaan diagnosis pasti seperti pemeriksaan TCM. Jika hasilnya positif maka pengobatan TPT dihentikan dan memulainya dengan terapi OAT dengan regimen yang sesuai. (dr. deni nuruddin)